Listrik Kita, Caci Maki Kita



BEBERAPA malam lalu saya mem-broadcast pertanyaan ke semua kontak blackberry messenger yang ada di iPhone saya. Pertanyaannya, "Di mana saja mati listrik PLN di Aceh malam ini?"

Dalam hitungan detik, jawaban masuk bertubi-tubi. Sebagian besar dari wilayah Banda Aceh. Umumnya menjawab listrik mati. "Mati sejak menjelang magrib tadi. Azan di meunasah terputus saat muazin memulai lafaz pertama. Sampai ba'da Isya masih mati," begitu kata seorang rekan menjawab pertanyaan saya dengan telepon.

Rekan lainnya, Tarmizi A Hamid menulis jawaban yang bernada lebih ekstrem. "Kawasan Lampineung, Ie Masen dan sekitarnya saban hari dan malam kami dizalimi terus. Kompleks DPRA terang benderang," tulis rekan saya yang akrab disapa Cek Midi tersebut.

Besoknya, ketika berita soal listrik mati itu tersiar di Serambi, Cek Midi memberikan apresiasi sambil mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih banyak, Bang. Semoga direspons (oleh pihak terkait) dengan tidak mencari dalil yang tidak masuk akal," begitu tulis Cek Midi.

Cek Midi masih menghamburkan kekesalannya dengan kalimat berikut. "Minta maaf? Islam memang sangat menganjurkan.(Sedangkan) bentuk tanggung jawab PLN sebagai perusahaan negara yang profesional, Manajer Area Aceh juga harus meletakkan jabatannya sebagai bentuk karakter seseorang yang mengaku profesional."

Ada lagi kalimat lanjutan, "Dari tahun 1959 sampai sekarang minta maaf terus. Mundur diri dulu, baru minta maaf kepada pelanggan dan masyarakat. Itu baru profesional dan imbang."

Sampai tulisan ini saya buat pada Rabu malam, 9 Maret 2016, kekesalan pelanggan listrik masih terus ditumpahkan ke saya.

"Panas sekali, Bang," keluh istri saya yang menelepon dari Ulee Kareng karena menurutnya sejak menjelang Magrib, listrik kembali mati. Masih dari kawasan Ulee Kareng, seorang tokoh setempat, Marwan Abbas juga menulis pesan singkat dalam Bahasa Aceh, "Bak lagee hana pemerintah yang jeut lawan monopoli PLN (Tampaknya tidak ada pemerintah yang berani lawan monopoli PLN). Setiap hari listrik padam."

Rekan lainnya yang terdata di kontak BBM saya, bernama Irma menulis dengan nada bertanya. "Ada apa dengan PLN. Kami di Lhong Raya dan sekitarnya mati lampu sudah dua malam. Kesal sekali."

Luapan kekesalan, bahkan (maaf) caci maki dan sumpah serapah pelanggan PLN menghadapi kondisi tak karu-karuan sejak hampir sepekan terakhir dinilai cukup wajar.

Karena semua tahu, listrik sudah menjadi kebutuhan utama, bukan saja untuk kenyamanan tetapi menjadi penggerak usaha, mulai usaha kecil sampai industri berskala besar.

Tetapi, sejauh yang saya tahu, hingga hampir seminggu listrik padam secara tak beraturan, belum terdengar suara dari Pak Dewan atau dari pihak pemerintah--atau bakal calon kepala daerah yang sedang cengengesan sambil tebar pesona--yang 'menggugat' kondisi ini.

Bisa jadi, mereka memang tak pernah merasakan bagaimana 'pedihnya' hidup tanpa listrik atau macet usaha di tengah hidup yang memang sudah pahit.

Mereka, misalnya Pak Dewan, di kantor tetap nyaman karena punya pembangkit alternatif di saat PLN terhenti menyemburkan arus. Di mobil, tetap sejuk.

Di rumah, seperti dilaporkan Cek Midi, tetap terang benderang, meski wilayah sekitarnya sedang kritis. "Teriakan dengan nada tinggi biasanya akan langsung terdengar jika jempol kaki sendiri terjepit," kata seorang rekan saya, pengelola doorsmeer di Banda Aceh yang usahanya terhenti karena listrik mati.

Tamsilan soal jempol kaki terjepit itu meluncur begitu saja dari mulut rekan saya. Dan, saya tak terlalu peduli untuk siapa tamsilan itu tertuju.(NASIR NURDIN, Wartawan Harian Serambi Indonesia)

0 Response to "Listrik Kita, Caci Maki Kita"

Post a Comment