Pakaian Cerminan Peradaban Manusia



Oleh Agustin Hanafi

KITA merasa prihatin dengan tatacara berpakaian muda-mudi zaman sekarang, ada yang ketat dan tembus pandang, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Bahkan ada yang rela mengumbar auratnya untuk berlenggang lenggok di panggung mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan mengatasnamakan seni, kebebasan berekspresi, kecantikan, dan lain-lain.

Pada hakikatnya menutup tubuh (aurat) adalah fitrah dan budaya manusia, sebagaimana dipahami dari istilah yang digunakan Alquran untuk pakaian, yaitu libas, tsiyab dan sarabil yang berarti penutup apapun yang ditutup dan kembalinya sesuatu pada keadaan semula yaitu mengembalikan aurat kepada ide dasarnya yaitu tertutup.

Allah Swt berfirman: “Wahai anak cucu Adam, janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A’raf: 27).

Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah swt telah mengilhami manusia dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat. Dengan demikian, berpakaian merupakan naluri dan fitrah manusia, sedangkan membuka aurat adalah ide setan (nafsu syahwat) yang ingin memperdayai manusia, dan karenanya tanda-tanda kehadiran setan (adanya nafsu syahwat) adalah keterbukaan aurat.

Pakaian berfungsi sebagai penutup tubuh sebagai tanda adanya budaya yang luhur. Tidak ada agama yang membenarkan pemeluknya untuk tampil vulgar membuka aurat di depan umum, karena itu merendahkan martabat manusia yang berbudaya dan berperadaban. Bahkan di Eropa (Italia) menutup patung-patung telanjang sebagai penghargaan dan penghormatan bagi presiden Iran yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan. Begitu juga halnya dengan budaya kita, ketika acara seremonial seperti upacara, pesta pernikahan semuanya tampil menutup tubuh, bahkan menggunakan gaun tertentu seperti jas, dasi, dan lain-lain agar kelihatan elegan dan bermartabat.

Penghargaan diri
Ketika seseorang menutup anggota tubuhnya berarti dia telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap diri dan budaya yang luhur itu yang notabene membedakan dirinya dengan hewan yang tidak memiliki budaya. Begitu juga sebaliknya sekiranya membuka tubuh, berarti telah menistakan dan melecehkan dirinya serta menyamakannya dengan hewan yang tidak memiliki budaya dan peradaban. Pakaian juga berfungsi sebagai perhiasan, yaitu sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan dan keserasian kepada pemakainya untuk bergerak, namun mesti disertai tanggung jawab.

Allah Swt telah menganugerahi manusia kesenangan kepada keindahan dan kecantikan. Namun agama Islam menganjurkan untuk memadukan keindahan jasmani dengan keindahan rohani. Tuntunannya di samping berkaitan dengan inner beauty, yakni keindahan yang bersumber dari dalam seseorang, juga keindahan luar. Kecantikan wajah/luar hanya menyenangkan mata, sedangkan yang bersumber dari dalam akan menawan hati. Satu bukti perlunya penggabungan itu, Allah Swt memerintahkan manusia untuk tampil indah dan menjaga kebersihan, bahkan ketika menghadap-Nya di masjid.

Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, bahkan Nabi saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyenangi keindahan (kecantikan).” Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, yaitu mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami-isteri dari yang melihatnya atau sikap tidak sopan dari siapa pun. Alquran membolehkan perempuan berjalan di hadapan laki-laki dan sebaliknya, tetapi diingatkan agar cara berjalannya jangan sampai mengundang perhatian (nafsu). Namun dewasa ini, perempuan sering terjebak dan lupa diri dengan mengatasnamakan kebebasan dan kecantikan, mereka rela tampil vulgar di depan umum, berpose dengan busana yang minim, dan lain-lain.

Secara fisik, pakaian dapat melindungi seseorang dari sengatan panas dan dingin, tetapi di sisi lain, pakaian juga berfungsi sebagai tanda keagungan budaya masyarakat atau orang yang menggunakannya. Memang harus diakui bahwa pakaian tidak menjadikan seseorang sebagai santri, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk berprilaku seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara model pakaiannya. Pakaianterhormat mengundang seseorang untuk berprilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh karena pakaian menggambarkan identitas diri.

Tidak patut
Mengikuti logika ini, tidak patut bagi yang telah melekat pada dirinya gelar keagamaan melakukan korupsi, menzalimi atau menyakiti orang lain, berkata kasar, mengeksploitasi anak, melakukan human trafficking dan lain-lain yang bertentangan dengan agama dan budaya. Tidak patut bagi seseorang yang menggunakan jubah tetapi berada di tempat prostitusi. Tidak layak juga seseorang yang menggunakan jilbab berada di tempat diskotik dan berkampanye mendukung kemunkaran seperti perilaku lesbian, gay, biseksual, trangender (LGBT) dan lain-lain, karena fungsi pakaian adalah perlindungan dan penghargaan.

Kini, banyak orang melalui media telah menjadikan penghargaan terhadap perempuan hanya terbatas pada fisik dan penampilannya. Seperti terlihat dalam sinetron, film, yang menampilkan anggota tubuhnya secara vulgar yang tidak lagi mengedepankan aspek budaya yang menginginkan anggota tubuh tertutup, tetapi menonjolkan aspek nafsu syahwat sehingga marendahkan derajat manusia. Mereka mengeksploitasi guna menarik keuntungan atas kesengsaraan perempuan dan kehancuran masyarakat.

Pakaian perempuan buat mereka bukan lagi berfungsi menutup badan, apalagi aurat, melainkan untuk membuka/memamerkan kecantikan, bahkan mengundang siapa pun untuk menatap apa yang dapat merangsang nafsu seksual laki-laki. Demikianlah pada akhirnya yang rugi adalah perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak keliru pribahasa yang berkata bahwa “sesuatu yang buruk jika telah berulang-ulang ditampilkan akan dinilai baik” oleh mereka yang tidak memiliki pegangan yang kuat.

Supaya generasi kita tidak tergoda dengan iming-iming gelar penghargaan sebagai “putri”, “miss”, dan lain-lain, sehingga rela mengorbankan harga diri dan kehormatannya. Mari kita bekali mereka pemahaman agama secara mendalam, bahwa menutup atau membuka tubuh adalah cerminan apakah seseorang termasuk makhluk berbudaya, berperadaban atau tidak. Bahkan fakta bahwa satu jenis kampanye LGBT di Indonesia melalui kegiatan modeling, maka patut kita waspadai. Wallahu a'lam bish-shawab.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (Ikat) Aceh. Email: agustinhanafi77@yahoo.com

0 Response to "Pakaian Cerminan Peradaban Manusia"

Post a Comment