BELAKANGAN ini, isu terkait dengan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menjadi trending topic untuk didiskusikan di khalayak ramai. Bahkan satu stasiun telivisi swasta Nasional pernah membahas secara khusus terkait isu tersebut. Berbagai pro dan kontra menuai dalam merespon isu tersebut. Pihak yang sepakat, dengan kelompok perilaku LGBT menyusun strategi dan memperkuat berbagai argumentasinya agar keberadaan kaum LGBT diterima di Indonesia. Bagitu juga sebaliknya, bagi yang tidak sepakat, mereka juga menyusun berbgai strategi dan argumentasinya untuk melakukan penolakan agar keberadaan golongan LGBT tidak di terima di Indonesia.
Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo sempat mewacanakan untuk memangkaskan peraturan daerah (perda) Aceh terkait kewajiban berhijab (memakai jilbab) bagi kaum perempuan muslim di Aceh. Pro dan kontra juga bermunculan dalam menyikapi isu tersebut. Namun dalam kasus ini, yang sepakat dengan wacana Tjahjo tidak berani berargumentasi secara terang-terangan. Mereka lebih memilih untuk bergerak secara soft atau melakukan “pergerakan bawah tanah”. Sedangkan yang menolak wacana tersebut mereka lebih leluasa dan bisa berargumentasi dengan bebas di khalayak ramai. Hal itu wajar, karena Aceh merupakan salah-satu propinsi yang didomisili oleh warga muslim secara mayoritas.
LGBT dan Jilbab memang dua hal yang berbeda, namun dari sisi-sisi tertentu ada kesamaanya. Bila kita melihat secara kasat mata, maka golongan yang menolak keberadaan LGBT di Indonesia sudah pasti mereka akan menolak wacana Tjahjo Kumolo. tentang pemangkasan perda yang mengatur tentang syariat Islam, khususnya tentang penggunaan jilbab bagi wanita muslim yang berada di Aceh. Begitu juga sebaliknya, bagi yang menerima keberadaan LGBT di Indonesia sudah pasti akan menerima wacana Tjahjo Kumolo tentang rencana pemangkasan perda tersebut. Sepertinya, ini ada kepentingan pihak-pihak tertentu untuk memecah belahkan umat. Ini bagian dari pertarungan ideologi besar. Kalau boleh saya katakan ini adalah bagian dari pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, atau antara kebenaran dan kebatilan.
Bukan isu baru
Sebenarnya LGBT bukanlah isu baru di abad modern ini, tahun 1950-1870 sebelum Masehi (SM) sudah ada golongan LGBT. Kaum itu sering disebut kaum Sadum (kaum sodomi) dan kaum Gomorah (kaum amoral) (wikipedia). Kaum Sadum dan kaum Gomorah adalah kaum-kaum yang inkar terhadap dakwah Nabi Luth as. Mereka dicap sebagai kaum Sadum dan kaum Gomorah karena orientasi seks menyimpang, yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Hubungan seks sesama jenis menjadi trend dan gaya hidup mereka saat itu. Sedangkan LGBT adalah sebutan nama di abad sekarang ini bagi mereka yang orientasi seknya dengan sesama jenis.
Hal ini penting untuk dipahami, agar kemudian tidak terjebak dalam sebutan nama. Di saat mereka disebutkan golongan LGBT, seakan-akan keberadaan mereka adalah bagian yang sudah pernah ada dari fitrah manusia. Maka tidak heran kemudian akan muncul sebagian kelompok untuk melegalkan keberadaan mereka dengan berbagai argumentasinya. Namun bila mereka disebutkan sebagai kaum sodomi atau kaum amoral, maka bisa dipastikan tidak ada satu orang pun yang mencoba untuk mendukung, apalagi melegalkan keberadaan mereka.
Namun terlepas apa pun sebutannya, yang pasti kaum pengingkar Nabi Luth AS adalah sebagain dari sekian banyak contoh cerminan kaum LGBT yang pernah ada. 1437 Tahun yang lalu Alquran telah menjelaskan kaum LGBT itu secara jelas dan gamblang, sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. al-A’raf: 80-81).
Alquran menyebutkan mereka adalah kaum yang melampui batas, ini mengartikan bahwa kaum tersebut bertindak di luar batasan fitrahnya manusia. Kisah Nabi Luth AS dan sejumlah Ayat Al-Qur’an secara jelas telah menggambarkan bagaimana golongan LGBT, mulai dari asal-muasal glongan itu lahir sampai dengan azab Allah terhadap mereka. Kaum Sadum pengingkari Nabi Luth (LBGT) adalah bagian dari golongan yang melampui batas, mengingkari sunatullah.
Sedangkan terkait dengan jilbab, Alquran juga telah menjelaskan kedudukan jilbab dalam Islam, sebagaimana firman Allah Swt:“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” (QS. al-Ahzab: 59). Ayat ini merupakan kalimat perintah yang mewajibkan bagi kaum muslim yang perempuan untuk menggunakan jilbab, walau kemudian ada sebagian pemikir Islam yang memiliki perbedaan dalam menafsirkan ayat tersebut. Namun, secara pasti tidak ada dalil atau landasan untuk larangan berjilbab, seharusnya, jilbab menjadi satu identias bagi kaum-kaum wanita yang muslim, khsusnya di Aceh.
Mengatasnamakan HAM
Menariknya dalam persoalan ini adalah, yang mendukung keberadaan golongan LGBT dan yang mendukung larangan pemangkasan perda jilbab di Aceh adalah sama-sama mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM). Bagi pendukung LGBT mereka beranggapan, keberadaan LGBT di Indonesia tidak menjadi persoalan karena itu merupakan bagian dari HAM. Sedangkan wacana Tjahjo Kumola untuk memangkas perda Aceh terkait penggunaan jilbab juga mengatasnamakan HAM. Tjahjo beralasan di Aceh tidak semuanya beragama Islam sehingga perda itu perlu dicabut, agar perempuan-perempuan non muslim yang berada di Aceh dilindungi haknya.
Kalau hanya itu yang menjadi alasan Tjahjo untuk mencabut Perda tentang penggunaan jilbab di Aceh, maka hal itu sangatlah tidak tepat. Ini adalah bagian dari kekeliruan Tjahjo dalam memahami UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Pasal 16 ayat 2a UU tersebut jelas disebutkan bahwa peyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama.
Pasal tersebut jelas menyebutkan bahwa pelakasaaan syariat Islam bagi pemeluknya. Sedangkan untuk perempuan yang nonmuslim tidak diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam. Hanya saja, bagi yang nonmuslim harus bersikap saling toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sebgai bentuk kekhususan Aceh. Kalaupun Tjahjo beranggapan perda Aceh tentang jilbab bertentangan dengan HAM, lantas di mana letaknya HAM bagi warga Aceh, yang memiliki hak kekhususan melalui UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam? Wallahhu a’lam.
sumber : aceh.tribunnews.com
0 Response to "LGBT vs Jilbab"
Post a Comment