Wajah Pemimpin Aceh, dari Masa ke Masa
Aiyub Syah | Mantan Staff Bidang Penerbitan Media, Walhi Aceh
Menurut Alvin Toffler (1990) dalam bukunya, Pergeseran Kekuasaan, “...... Perjuangan politik yang sentral itu adalah, antara para pengagum agrarianisme dan “tradisionalisme” (Gelombang Pertama) di satu pihak, dengan industrialisme atau “modernisme” (Gelombang Kedua) di pihak lain. Dan dewasa ini, konflik historis tersebut, masih berkobar, tetapi tertutup oleh konflik baru - perjuangan Gelombang Ketiga, peradaban pasca modern melawan modernisme dan tradisionalisme.”
Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903) tengah, dan penjaganya
Kini tampaknya, suatu perekonomian baru yang berdasarkan pengetahuan sedang mengatasi era produksi cerobong asap. Jika benar itu terwujud, menurut Toffler, “Maka kita bisa berharap pada sebuah perjuangan historis, untuk membentuk kembali lembaga-lembaga politik kita secara lebih baik dan membawa lembaga-lembaga itu supaya sesuai dengan perekonomian pasca produksi massal yang revolusioner.”
Jika kita menganalisis pemikiran Alvin Toffler di atas lebih lanjut, kita juga bisa berharap kini, kepada lembaga-lembaga politik kita yang pernah ada di Aceh. Agar dapat dihidupkan lagi.
Lembaga-lembaga bernilai ke-Acehan seperti Wali Nanggroe, Tuha Pheut, Geusyik, Teungku Imuem dll. juga perlu difungsikan lagi secara terhormat. Untuk mengikuti era baru kemajuan perekonomian dunia, yang kini memasuki era globalisasi. Niliai kearifan tradisional-secara proporsional dan secara moralitas yang arif bijaksana-juga pada tataran tertentu perlu dikombinasikan dengan nilai-nilai baru yang bersifat menyempurnakan peradaban ke - Acehan yang sudah berkembang di Aceh - sejak berabad-abad yang lampau.
Bagaimana model dan siklus kepemimpinan di Aceh?
Kesan saya, Aceh kini sedang memasuki era transisi demokrasi dari kultur tradisional menuju kultur modern-untuk mengembangkan era demokrasi massal yang lebih bermutu. Namun, nilai kearifan historis Aceh, juga harus dipahami dan diintegrasikan oleh berbagai lapisan Rakyat Aceh.
Secara historis, kita dapat bercermin pada siklus kepemimpinan di Aceh berikut ini. Aceh memiliki budaya kosmopolitan yang tinggi. Sejumlah pemimpin Aceh, lahir dari berbagai proses pertunangan budaya global. Beberapa Sultan Aceh bahkan pernah dipilih berasal dari luar ‘nanggroe Aceh’. Seperti misalnya Sultan Iskandar Thani yang memimpin Aceh sejak periode 1636 hingga 1641, beliau berasal dari Malaysia. Dan dewi fortuna ketika itu juga memihak pada Iskandar Thani, karena isteri tercinta beliau Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda-seorang ‘Aceh’s princess’ yang kemudian menjadi Aceh’s Queen (Ratu Aceh)’ yang juga sangat cerdas.
Selama kurun waktu tujuh abad terakhir (1496-2007), Aceh sudah dipimpin oleh sedikitnya 58 putra/putri terbaik. Pada masa prakemerdekaan (1496-1903), Aceh yang berada di bawah pemerintahan Kesultanan. Aceh dipimpin oleh Sultan/Sultanah (Sri Ratu).
Sedangkan pada era kemerdekaan bersama Republik Indonesia (1945-hingga kini), Aceh dipimpin mulai oleh seorang Residen, Gubernur Militer, bahkan Aceh sebenarnya pada era Teungku Daud Beureueh, telah pernah pula memiliki kepemimpinan bergelar Wali Nanggroe - Tgk Daud Beureueh (memimpin Aceh 1948-1951), selanjutnya Aceh dipimpin lagi oleh Gubernur Kepala Daerah, Penjabat Gubernur, dan kini oleh Kepala Pemerintahan Aceh.
Secara historis, karena pernah disepakati gelar Wali Nanggroe, sebagai gelar terhormat pemimpin Aceh di masa wafatnya para Sultan Aceh tempo doeloe. Konon, ketika era Kesultanan Aceh Darussalam mengalami situasi paling crucial (genting), karena Sultan Mahmud Syah wafat pada (1874) saat menghadapi peperangan dengan penjajahan Belanda, suksesi di lingkaran kesultanan menjadi macet. Karena putra sultan sendiri masih berusia 12 tahun. Sehingga dianggap tak cukup dewasa untuk menjadi Sultan baru.
Di tengah situasi perang yang genting melawan agresi penjajahan Belanda, itulah, akhirnya kekuasaan dari pihak kesultanan dialihkan ke Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, nah kakek buyut (indatu) Hasan Tiro inilah yang kemudian mendapat kepercayaan untuk menjabat posisi kekuasaan sebagai Panglima Perang dan Wali Negara Kesultanan Aceh Darussalam.
Barangkali hal inilah yang membuat munculnya kepemimpinan Wali Nanggroe itu-dilanjutkan kemudian oleh beberapa aulia Aceh - diantaranya versi (Almarhum) Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan oleh Teungku Chik Hasan Muhammad di Tiro. Bahkan sesuai dengan zamannya, pihak Atjeh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) menilai, perjuangan Tgk Chik Hasan Muhammad di Tiro, setara dengan nilai perjuangan Tgk Chik di Tiro, ketika berjuang melawan penjajahan Belanda tempo dulu.
Berikut periode kepemimpinan di Aceh.
Periode Sultan Aceh:
Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sultan Salahuddin (1528-1537)
Sultan Alauddin al-Qahhar (1537-1568)
Sultan Husain Ali Riayat Syah (1568-1575)
Sultan Muda (1575)
Sultan Sri Alam (1575-1576)
Sultan Zainal Abidin (1576-1577)
Cucu daripada Alauddin al-Qahhar (1576-1577)
Sultan Alauddin Mansyur Syah (1577-1589)
Sultan Buyong (1589-1596)
Sultan Alauddin Riayat Syah (1596-1604)
Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sultan Iskandar Muda (1593-27 Desember 1636)
Iskandar Thani A. Mughayat Syah (1636-1641)
Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675)
Sultanah pertama Aceh ini, puteri dari Sultan Iskandar Muda. Konon, Sri Ratu ini sangat cerdas, tekun belajar dan menulis perkembangan zaman dan memiliki wawasan dan pandangan internasional yang luas.
Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678)
Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678-1688)
Sultan Badrul Alam Syarif Hashim (1699-1702)
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sultan Jamal ul Alam Badrul Munir (1703-1726)
Sultan Jauhar Ul Alam Aminuddin (1726)
Sultan Syamsul Alam (1726-1727)
Sultan Alauddin Ahmad Syah (1727- 1735)
Sultan Alauddin Johan Syah (1735-1760)
Sultan Mahmud Syah (1750-1781)
Sultan Badruddin (1764-1785)
Sultan Sulaiman Syah (1775-1781)
Alauddin Muhammad Daud Syah (1781-1795)
Sultan Alauddin Jauhar Ul Alam (1795-1815)
Sultan Syarif Saiful Alam (1815-1818)
Sultan Alauddin Jauhar ul Alam (1818-1824)
Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sultan Mansyur Syah (1857- 1870)
Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Selanjutnya, setelah masuk ke era kemerdekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Aceh kembali memiliki pemimpin dengan berbagai macam gelar, dari mulai kepemimpinan bergelar ‘Gubernur Aceh’ hingga ke era Kepala Pemerintahan Aceh.
Berikut daftar para pemimpin di Aceh tersebut;
1.Teuku Nyak Arief (1945-1946)
2.Teuku Daud Syah (1947-1948)
3.Tgk Daud Beureueh (1948-1951) - pernah bergelar Wali Nanggroe
4.Danu Broto (1951-1952)
5.Teuku Sulaiman Daud (1952-1953)
6.Abdul Wahab (1953-1955)
7.Abdul Razak (1955-1956)
8.Prof. Ali Hasjimy (1957-1964)
9. Nyak Adam Kamil (1964-1966)
10.H.Hasbi Wahidi (1966-1967)
11.A.Muzakkir Walad (1967-1978)
12.Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981)
13.H.Eddy Sabhara (Pjs.1981)
14.H.Hadi Thayeb (1981-1986)
15.Prof. Dr. Ibarhim Hasan (1986-1993)
16.Prof.Dr.Syamsuddin Mahmud (1993-21 Juni 2000)
17.Ramli Ridwan (Pj. 21 Juni 2000-November 2000)
18.Abdullah Puteh (November 2000-19 Juli 2004)
19.Azwar Abubakar (Pj 19 Juli 2004-30 Desember 2005)
20.Mustafa Abubakar (Pj 30 Desember 2005-8 Februari 2007)
21.Irwandi Yusuf (2007- 2012)
22.Tarmizi Karim (2012 – Medio 2012)
23.dokter Zaini Abdullah (Medio 2012-2017)
Sebagai sebuah catatan realitas keacehan, saya dapat menukilkan beberapa kesan mengenai kepemimpinan di Aceh. Sejak era Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981) menjadi Gubernur Aceh, saya mendapati kesan baru bahwa ‘Sang Gubernur Aceh’ sangat bergairah dan bersemangat memajukan sektor pendidikan di Aceh.
Selanjutnya ketika era H.Hadi Thayeb (1981-1986) menjabat sebagai Gubernur Aceh, saya mendapati fenomena baru yang juga penuh gairah, ‘Sang Gubernur Aceh’ sangat antusias memajukan sektor dunia perbankan di Aceh. Saya kebetulan ikut menyaksikan langsung sang ‘Gubernur Aceh’ yang begitu bersemangat berbicara untuk membangun sebuah ‘Bank of Aceh’ yang modern, pada saat meresmikan pembukaan Bank Pembangunan Daerah (BPD) cabang Kota Sigli.
Selanjutnya, perkenalan saya dengan berbagai kalangan akademisi Aceh dan kalangan pers nasional dan pers internasional, telah membuat saya juga mengenal pola pikir sejumlah Pemimpin Aceh terkini. Bahkan usai berbagai pergelaran forum ilmiah serta forum demokrasi, saya ‘doyan’ sekali berdiskusi langsung dengan hampir semua Gubernur atau mantan Gubernur Aceh sekaligus juga sering menyatakan aspirasi rakyat kecil dengan tegas di hadapan sejumlah gubernur itu. Terutama hal itu terjadi pasca periode Gubernur Aceh H. Hadi Thayeb.
Bahkan ketika era Gubernur Aceh, dijabat oleh Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, saya dengan tegas menyatakan kepada Gubernur Aceh tersebut, agar bertanggung-jawab untuk menyelamatkan penegakan hak asasi manusia kepada sekitar 4 juta lebih Rakyat Aceh. “Droneuh harus bertanggung-jawab untuk menyelamatkan 4 juta lebih rakyat Aceh, dari bahaya pelanggaran hak asasi manusia oleh berbagai pihak,”ujar saya dengan tegas pada saat sedang maraknya operasi militer dan meningkatnya tuntutan referendum oleh jutaan Rakyat Aceh.
Prof. Syamsuddin Mahmud, menyambut dengan elegan harapan saya. Dengan bersikap kecendekiawanan, Gubernur Aceh ini bersama Nasir Djamil, mengajak saya masuk ke ruangan Meuligo Gubernur Aceh namun saya, menolak masuk ketika itu.
Hal itu pun berlangsung secara ‘alamiah’ sejak masa awal terpilihnya Kepala Pemerintahan Aceh Irwandi Yusuf bersama wakilnya Muhammad Nazar. Pada dasarnya, saya ingin agar hak asasi manusia dan martabat Rakyat Aceh diperhatikan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin Aceh.
Kemudian hal itu juga berlangsung beberapa waktu menjelang terpilihnya dokter Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh dan ‘Mualem’ Muzakkir Manaf, sebagai Wakil Gubernur Aceh. Saya ikut menyaksikan langsung, saat Zaini Abdullah berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman, ‘Sang Gubernur Aceh terkini ini’ memiliki daya tahan, daya nalar atau pandangan politik yang tajam, untuk membaca aspirasi politik rakyat Aceh.
Ketika itu, saat meuntro Malik Mahmud yang kini jadi Pemangku Wali berbicara menyampaikan amanah pemimpin tertinggi ASNLF atau GAM, Teungku Syik Hasan Muhammad di Tiro, saya justru melihat ‘ketajaman nalar’ dokter Zaini Abdullah tiba-tiba muncul spontan di hadapan ratusan ribu Rakyat Aceh yang menyambut kepulangan kembali Hasan Muhammad di Tiro ke Aceh. Zaini Abdullah yang duduk manis di samping Hasan Tiro ketika itu, secara naluriah memancarkan ‘aura wajah kekhalifahan’ penuh senyum. Dan juga dengan penuh secara spontan terus melambaikan lima jari tangan secara mesra dan elegan ke hadapan ratusan ribu rakyat Aceh haus akan ‘perubahan baru dan penentuan nasib baru yang lebih bermartabat dan berkeadilan bagi segenap Rakyat Aceh.
Life Style pemimpin Aceh memang beraneka-ragam warnanya ketika memimpin Aceh. Ada yang begitu peduli aspirasi rakyat kecil, ada juga yang lebih peduli pada aspirasi sentralisme yang lebih mementingkan pemerintah pusat. Secara umum ruang gerak dan wewenang Gubernur Aceh pada masa lalu itu, memang berada pada posisi ‘terjepit’. Oleh berbagai kekuasaan pusat yang menjalar segi ‘security approach and army business’ ke semua sendi pemerintahan di Aceh.
Pada era Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf (ZIKIR) kini , sebenarnya ‘rayeuk that’ peluang yang diberikan lembaga donor internasional kepada Rakyat Aceh, untuk membangkitkan perekonomiannya, agar pulih dan sehat dari ‘kesakitan yang muncul’ akibat situasi pasca delapan tahun bencana tsunami dan berbagai situasi ‘huru-hara konflik’.
Peluang memajukan Aceh secara ‘rayeuk that’ itu terwujud, karena simpati dunia sangat terangsang membantu ratusan ribu jiwa Rakyat Aceh yang pernah tertimpa bencana dahsyat tsunami.
Seorang aktivis perdamaian Aceh yang tak mau dikutip namanya menyebutkan pasca bencana tsunami beberapa waktu lalu,”Saat nyoe, jika talambai-lambaikan si oun bendera ‘Perdamaian Aceh’ manteung, peng laju trouh u Aceh.” ujarnya, sambil tertawa terkekeh-kekeh. Di hadapan sejumlah cendekiawan muda Aceh prodemokrasi, ketika itu sambil menikmati kopi hangat di sebuah hotel dekat pinggiran Krueng Aceh.
Namun, kini pasca delapan tahun tsunami, roh perdamaian MOU Helsinki, memang masih memberikan peluang besar untuk memajukan Aceh. Nah, sekarang hal ini tergantung pada kesiapan Pemerintahan Aceh, DPRA, dan Rakyat Aceh untuk mau saling berbagi pemikiran untuk memajukan Aceh. UUPA harus terus diselaraskan dengan MOU Helsinki, seperti aspirasi yang dikehendaki Rakyat Aceh.
Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh saat ini, Zaini Abdullah dan ‘Mualem’ Muzakkir Manaf untuk mengelola pembangunan Aceh baru sangat besar. Meskipun ‘kadang-kadang duet ‘ZIKIR’ ini juga masih sering terjepit posisinya oleh birokrasi pusat yang bergaya ‘ekonomi biaya tinggi’. Padahal Pemerintahan Aceh kini, memikul mandat berat untuk membangun Aceh secara good governance.
Nah, Aceh sebenarnya kini butuh banyak konsultan berkualitas internasional, agar mampu menyerap dengan baik, semua kucuran bantuan dana dari berbagai lembaga multi donor. Sekaligus agar dapat memaksimalkan penggunaan dana APBA untuk kepentingan pemulihan ekonomi, serta peningkatan mutu sumber daya manusia Aceh.
Secara logis, jika kita bandingkan dengan kondisi perekonomian Rakyat Aceh yang masih sangat menonjol dengan realitas dan fenomena penduduk yang sebagian besar bergantung hidupnya pada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan (tradisional). Dan juga ‘masih rendah dengan tingkat daya beli suatu produk barang atau jasa tertentu,’ maka kebijakan penting yang perlu diprioritaskan oleh jajaran pemerintah di Aceh adalah menciptakan berbagai pertumbuhan baru di bidang bisnis produk pertanian (agribisnis), serta pengembangan berbagai industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), serta memacu lahirnya berbagai industri baru lainnya di bidang perikanan dan kelautan; termasuk dalam hal ini pengembangan industri yang memproduksi ‘mesin-mesin modern’ untuk kapal penangkap ikan milik nelayan, sekaligus juga sangat penting dibangun di kota-kota tepi laut di Aceh, industri pengolahan ikan dan hasil-hasil perikanan modern. Seperti yang telah ditempuh oleh Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Seyogianya, tak terlalu besar lagi dana APBA yang mengalami fase ‘kedaluarsa mata anggarannya’ setiap tahun. Dan kemudian, harus dipulangkan banyak sisa anggaran yang tak terpakai itu, ke Jakarta. Ironis sekali jika itu terjadi justru hanya karena alasan kekurangan waktu untuk menyerapnya dengan cepat di Aceh.
Jika perspektif APBA berorientasi kerakyatan, maka berbagai kiat dapat ditempuh untuk mengalokasikan anggaran APBA untuk kepentingan Rakyat Aceh.
Jajaran elite politik Pemerintahasn Aceh, mestinya mampu mengatasi ‘jepitan birokrasi pusat’ sesegera mungkin, melalui pemaksimalan manajemen dan administrasi pemerintahan yang bermutu nasional dan internasional. Misalnya, Eksekutif dan Legislatif Aceh, harus mahir menetapkan jumlah anggaran pembangunan secara tepat nilai ekonominya, mengikuti perkembangan nilai kurs sejumlah mata uang internasional. Dan juga mampu mengikuti fluktuasi harga minyak dan gas alam cair di tingkat dunia. Serta dapat mengukur secara akurat dan akuntabel, serta independen, berapa nilai bagi hasil migas yang mesti diterima oleh Aceh. Akuntan internasional yang independen, harus dilibatkan untuk menghitung nilai bagi hasil migas antara Aceh dengan pusat, sesegera mungkin.
Semestinya sistem Pemerintahan Aceh masa depan, memiliki model demokrasi yang bisa menggabungkan antara sistem pemerintahan berdasarkan akar keacehan dan juga mampu mengintegrasikan nilai futuristik demokrasi yang berkembang di era pasca modern ini. Sesuai amanah MOU Helsinki, kehadiran Wali Nanggroe dan Kepala Pemerintahan Aceh, sama-sama bernilai penting. Dengan adanya Wali Nanggroe, sebagian besar Rakyat Aceh tokoh Wali Nanggroe mampu mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan bagi Rakyat Aceh. Serta mampu menciptakan nilai ‘harmonis progresif’ untuk pembangunan Aceh baru, melalui percepatan kerja Pemerintahan Aceh dan Parlemen Aceh.
Kesan saya, Aceh kini sangat butuh pemimpin berwawasan pemikiran yang tajam, kosmopolit, berjiwa humanis, berani menegakkan keadilan dan kebenaran secara profesional, dan berjiwa kesatria plus kharismatik dalam membela kepentingan Rakyat Aceh.
Selanjutnya alangkah lebih memikatnya, jika pemimpin Aceh masa kini juga giat menampilkan tipikal dan jati dirinya, sebagai budayawan Aceh yang bersih dalam menjaga amanah rakyat. Fasih membaca dan mengantisipsi perkembangan zaman yang bertipikal ‘budaya globalisasi’.
Spirit perubahan Aceh harus dipacu lebih cerdas, tepat-waktu, terukur, dan tepat-sasaran. Aceh harus menjemput kemajuan zaman, agar dapat ‘tegak setara’ dengan bangsa-bangsa yang telah maju di seantero dunia. Ilmu pengetahuan bermutu tinggi, dan penguasaan teknologi tinggi harus menjadi ‘asou tubouh ureung Atjeh’ abad 21.
Insya Allah, dengan terwujudnya konsep kepemimpinan Aceh ‘Lhee Serangkai’ (tiga serangkai)----- yang terdiri dari supreme leader yang berjiwa humanis Wali Nanggroe, Kepala Pemerintahan dan Wakil Pemerintahan Aceh yang berkarakter ‘welcome’ untuk pembangunan berkelanjutan berdasarkan konsep good governance & clean rakyat Aceh bakal dapat merasakan sebuah ‘kemajuan baru’ di bidang kesejahteraan hidup, pelayanan kesehatan, pelayanan di bidang jasa kependidikan, dan akan menikmati kesegaran hidup baru dalam lingkungan yang lestari secara berkelanjutan.
Penulis Mantan Staff Bidang Penerbitan Media, Walhi Aceh
sumber : acehabad.blogspot.co.id
0 Response to "Inilah Potret Wajah Pemimpin Aceh dari Masa ke Masa"
Post a Comment